9 Februari 2017

Tentang #MuslimVoteMuslim

Feel free to disagree, but if you do disagree with this, let's just agree to disagree in peace, shall we? 😊

Saya pertama kali belajar berpolitik di sebuah SMA Negeri yang islami. Di sana, saya mengalami kalau Ketua OSIS yang menang hampir pasti adalah yang mendapat dukungan DKM (alias RohIs, kalau di sekolah lain). Di sana saya juga mengalami isu-isu "nonmuslim nggak boleh jadi pemimpin" baik dalam konteks Ketua OSIS maupun (yang saya ingat) pemimpin pasukan di ekskul paskibra.

But I didn't vote for A'Fahmi, Patrya, and Dea (merely) because they're moslems.

Waktu kuliah, saya pernah terlibat dalam proses pemilihan Ketua BEM Fakultas yang super "panas". Panas karena satu calon agamanya Islam dan satu lagi agamanya Katolik. Isu agama pun menyeruak. Kalo nggak salah inget, dulu itu beredar SMS (anjir tua banget yah masih SMSan hahaha) plus tempelan di pakom yang intinya "muslim harus pilih yang muslim juga". Hmm.. jangan-jangan isinya Al Maidah 51 juga ya? Saya lupa hehe.. Yang saya ingat betul, itu pengalaman berpolitik saya yang paling panas, ganas, dan berbekas.

But I didn't vote for Kak Randy (merely) because he's moslem.

Ketika sekarang di Pilkada DKI Jakarta muncul isu kepemimpinan nonmuslim juga, yah saya nggak kaget sih. Tapi nggak kaget bukan berarti nggak kepikiran, apalagi kawan-kawan plus orang-orang yang ada di linimasa media sosial saya begitu beragam pendapatnya (dan cara menyampaikannya). Bener-bener kalo lagi ngelamun tuh suka tiba-tiba kepikiran ini.. Iya, isi kepala saya emang suka berisik sendiri hahaha.. Ada hal-hal yang menggelisahkan saya tentang keributan berbalut isu faktor agama dalam pemilihan pemimpin ini, dan saya berusaha mendefinisikan kegelisahan itu plus mencari insight yang bisa meredakannya.

Insight pertama saya dapat setelah ngobrol sama Patrya, baca twit-twit dia, dan mengingat kembali semua pengalaman berpolitik saya di sekolah dan di kampus. Menurut saya, kalau ada individu yang mau milih pemimpin dengan mempertimbangkan agamanya ya silakan aja, tapi saya nggak setuju kalau ada yang menjadikan agama sebagai narasi kampanye. Khususnya kalo yang narasinya "Pilihlah X karena X Islam" ya, karena agama yang saya pahami ya itu hehe.. Buat saya, narasi "Pilihlah X karena X Islam" itu kepedean banget. Emangnya pemahaman agama dan representasi keislaman si X selevel Rasulullah? Atau minimal sahabat-sahabat Rasulullah deh? Kalo iya, sok mangga pake narasi itu karena berarti dia oke banget semua-muanya 😍😍😍

Insight kedua saya dapat waktu lagi (baca dan ikutan) komen-komenan di Facebook sama beberapa teman. Menurut saya, memilih pemimpin dengan mempertimbangkan agamanya itu bukan tindakan diskriminatif. Waktu itu saya menganalogikannya dengan pengalaman seorang teman lain. Teman saya ini agamanya Islam, lalu waktu dia praktik di salah satu sekolah Katolik di Jakarta, ada orang tua yang menolak anaknya ditangani oleh psikolog yang beragama Islam. Menurut saya sah-sah aja ada orang tua yang seperti itu, dan psikolognya juga nggak perlu baper. Itu kan pilihan pribadi sang ortu berdasarkan nilai yang dia pegang, dalam konteks tertentu yang penting buat dia atau mempengaruhi hidupnya. Nah, sama deh sama milih pacar pemimpin. Orang kan milih pemimpin berdasarkan nilai yang dia anut, jadi ya akan beragam sih hal yang mendasari orang buat memilih. Ada yang "pilih yang berprestasi", ada yang "pilih yang programnya menguntungkan saya", ada yang "pilih yang ganteng". Sah-sah aja kan? Lalu kenapa jadi masalah kalo ada yang mau "pilih yang beragama tertentu"?

Katanya kita harus adil sejak dalam pikiran kan? Hm hm hm? 😉

Saya sendiri mempertimbangkan agama dalam memilih pemimpin.
But I didn't vote for A'Fahmi, Patrya,  Dea, and Kak Randy (merely) because they're moslems.
I vote for them because for me they were the better option.
3 komentar on "Tentang #MuslimVoteMuslim"
  1. nice post mba Shanti :)

    vote because better option..

    BalasHapus
  2. Suka sekali sama postnya. Muslim votenya ya harus muslim.

    BalasHapus